Pertama kali tahu Sayur Babanci ini beberapa tahun lalu, dari Jalansutra, dan pak Bondan Winarno yang menjelaskan kalau Sayur ini mulai langka, aku copas nie postingannya pak Bondan di JS tahun 2009 lalu.
Topik : Lebaran dengan Ketupat Babanci
Keluarga JS-ku,
Menjelang Idul Fitri, tiba-tiba saya teringat ketupat babanci bikin Mpok Mia (0811 144451). Iseng-iseng saya telepon apakah saya bisa pesan dan diambil hari Sabtu. Soalnya, sekalipun tidak berlebaran, tetapi keinginan makan ketupat tidak terbendung. Untungnya, Mpok Mia bersedia menerima pesanan untuk 20 porsi.
Hari Sabtu siang, pesanan diambil. Saya pisahkan empat porsi untuk dimakan di rumah. (Untunglah Yohan tidak jadi singgah :-p, sehingga kami berdua bisa makan dua kali. He he he!). Sisanya saya bagi dalam dua
wadah dan disimpan di kulkas, persiapan untuk dibawa ke rumah saudara esok hari sebagai buah tangan.
Harry Nazaruddin pernah menulis lengkap tentang sayur babanci atau ketupat babanci ini. Tetapi, biarlah saya ulang sekali lagi.
Sayur babanci sama sekali bukan sayur – bahkan tidak ada sayurnya. Konon, kata babanci mengacu pada “kelakuan†sayur ini, yaitu banci alias tidak jelas identitasnya. Gule bukan. Kare bukan. Soto juga bukan.
Menurut saya, bukan tidak mungkin “babanci†berasal dari kata “babah-enciâ€.
Ada kemungkinan masakan ini dulunya dibuat oleh kaum peranakan Tionghoa-Betawi. Menurut Mpok Mia, di Betawi masa lalu, hanya keluarga bek (mandor, tuan tanah) yang mampu menghadirkan masakan ini pada Hari Raya Idul Fitri.
Masakan ini memerlukan 21 jenis bahan, bumbu, dan rempah. Beberapa rempah sudah termasuk langka, seperti: lempuyang, kedaung, temu mangga, temu kunci, bangle. Daging yang dipakai adalah bagian kepala sapi, tetapi tidak termasuk lidah, otak, dan cingur. Seperti Anda tahu, bagian pipi sapi ini sangat empuk.
Secara umum, masakan ini memang cenderung mirip gule, dengan aroma maupun rasa rempah yang sangat intens. Selain daging kepala sapi, pada akhir proses memasak dimasukkan serutan kelapa muda dan srundeng yang ditumbuk halus. Rasa kuahnya sangat mirip dengan palu basa di Makassar. Saya
bahkan sempat mencoba sayur babanci ini dengan cara makan orang Makassar, yaitu memasukkan kuning telur ayam kampung ke mangkuk sayur yang masih panas. Hmm, mak nyussssss!
Sebetulnya, saya ingin mengadakan Halal Bihalal terbatas (maksimum 60 orang) di rumah saya dengan sajian ketupat babanci yang dipesan khusus dari Mpok Mia. Saya sungguh ingin berbagi pengalaman makan sayur babanci yang sangat khas ini. Ada yang berminat jadi ketupat?
Salam,
Bondan
dan juga postingannya Harnaz (Harry Nazarudin) :
Halo Pak Bondan,
Wah saya juga kebagian babanci pas lebarannya. Dan, kebagian jadi juru cicip sebelum dikirim ke Pak Bondan, karena yang masak pada puasa semua, hehehe. Terus terang, daripada yang kita makan sendiri, yang dikirim ke pak bondan malah lebih enak, haha!
Soal nama ‘babanci’, sebenarnya ‘babah-enci’ bukan cuma cuma milik masy. Tionghoa. Orang Betawi juga menyebut ‘babeh-encing’ yang disingkat banci juga. Saya heran melihat orang Betawi memanggil ‘Cici’, tapi bukan kakak perempuan seperti di Tionghoa, melainkan singkatan dari ‘encing’ yang artinya bibi.
Masy. Betawi sebenarnya punya ragam budaya yang unik juga lho. Kang Irvan dulu pernah mendefinisikan Betawi sebagai ‘penduduk pesisir utara Jabar yang tidak bisa berbahasa Sunda’ – dan ini luas juga, dari Ciganjur, Klender, sampai Pondok Ranji. Budaya kulinernya pun macam-macam, tidak sekedar soto betawi. Betawi Klender terkenal dengan kue geplaknya. Betawi daerah kota punya nasi ulam. Babanci sendiri berasal dari daerah Cempaka Putih/Galur. Mencemplungkan oncom di dalam sayur asem adalah khas Betawi Jaksel – Ragunan, seperti di Muhayar. Masakan pecak dan pucung lebih masuk ke Betawi ‘pinggir’, seperti Ciganjur dan Bekasi. Ibunya Mia yang masak babanci contohnya, sama sekali tidak mengenal kuah pecak atau pucung.
Nah, Betawi sendiri menarik karena merupakan hasil dari campuran berbagai budaya yang ‘mampir’ di Jakarta. Ada yang terkena pengaruh Portugis, ada yang kental unsur orientalnya. Arab juga dominan. Nah, babanci, adalah salah satu yang saya sendiri bingung darimana pengaruhnya. Gulai santan adalah pengaruh melayu, tapi rasa babanci sendiri lebih rich dari gulai melayu. Bumbu adasnya bisa dirunut sebagai budaya Arab, dan cara merebus daging dan penyiapannya mirip dengan teknik Tionghoa. Tapi, sebagian besar unsur makanannya sendiri masih misterius, dan kemungkinan merupakan asli Betawi. Dan, yang unik adalah penggunaan daging buah kelapa sebagai sayur. Komentarnya Adi, ‘Sayur ini dibuat ketika di Jakarta masih banyak pohon kelapa!’ – untuk 20 porsi saja digunakan 9 buah kelapa, kelapa santan, kelapa gongseng, dan kelapa buah! Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satupun sayur di dunia ini yang menggunakan daging kelapa. Nah, babanci berarti termasuk Pusaka Kuliner kita!
Sayangnya, sayur ini statusnya sudah termasuk endangered species alias hampir punah. Di seluruh Jakarta setahu saya hanya di food court POINS yang jual. Di Cempaka Putih dulu ada warungnya, tapi sudah tutup. Dan ini juga melanda banyak makanan Betawi, karena masyarakat Betawi sendiri lebih tertarik berbisnis tanah (dan lebih profitable juga, hehe). Di keluarganya Mia sendiri hanya 2 orang yang bisa masak sayur babanci dari 6 bersaudara. Dua bulan sebelum buka warung di Adira dulu, Hajjah Siti Imronah, sang empunya resep, meninggal dunia dalam usia 82 tahun. Sebelum meninggal, beliau menurunkan satu trik resep sayur babanci yang terakhir, dari cara menyiapkan lengkuas. Baru sejak itu masakan sayur babanci ibunya Mia bisa sama dengan aslinya. Kalau terus begini, lama-lama makanan ini bakal punah. Makanya sebelum punah, kita punya sebuah ‘crusade’ untuk membuat sebanyak mungkin orang mencicipi babanci – sampai2 kadang2 nanggung rugi dan nyaris kena tipu, hehe. Supaya, kalaupun sayur ini punah, paling tidak kita bisa cerita ke anak cucu, bahwa dulu pernah ada sayur betawi yang sayurnya daging kelapa…
Cheers,
Harnaz
SAYUR BABANCI
Bahan :
250 gram daging tetelan
1 liter air, untuk merebus
2 butir kelapa muda
3 sdm minyak goreng, untuk menumis
2 batang serai, memarkan
2 lembar daun salam
2 lembar daun jeruk
400 ml santan encer, dan
300 ml santan kental dari 1/2 butir kelapa
1 sdt air asam Jawa
20 mata petai, belah 2
1 sdm bawang goreng, untuk taburan
Bumbu Halus :
6 buah cabai merah
2 cm kunyit, bakar
5 butir kemiri sangrai
1/2 sdt ketumbar sangrai
1 cm kencur
2 cm lengkuas
1 cm jahe
8 butir bawang merah
2 siung bawang putih
1/2 sdt terasi bakar
1 sdt gula merah
2 sdt garam
Cara Membuat :
1. Rebus daging tetelan hingga empuk. Ambil kaldunya sebanyak 250 ml. Potong daging tetelan kecil-kecil.
2. Keruk daging kelapa muda hingga diperoleh sebanyak 500 gram.
3. Panaskan minyak goreng. Tumis bumbu halus, serai, daun salam, daun jeruk hingga harum. Masukkan daging tetelan, kaldu, santan encer, didihkan. Tuangi santan kental.
4. Aduk santan agar tidak pecah. Setelah mendidih, masukkan air asam Jawa, kelapa muda, dan petai. Setelah kuah agak berminyak, angkat, sajikan dengan taburan bawang goreng.
mbak Noor : makasih visit dan commentnya ya… Jadi memang risetnya Harnaz terbukti ya, bahwa babanci ini berasal dari orang Betawi yang tinggal di daerah Jakarta Pusat. Saya pernah order ke ibu Mia dan sewaktu mengembalikan pancinya (karena besarrr dan beliau tidak menyediakan mangkok2 gitu) di daerah Jakarta Pusat juga, daerah Cempaka Putih.
Oh iya, makasih banyak untuk informasi tambahan bumbu-bumbunya. Menurut Harnaz ada 21 bumbu-bumbu dalam sayur babanci, saya hitung memang baru 15, dengan tambahan jinten, temu mangga, temu kunci, kedaung jadi 19, kurang 2 lagi deh hehe btw baru dengar nie kedaung sebagai bumbu dapur, bijinya ya yang dipakai?
Saya setiap lebaran makan sayur banci ini di rumah bos saya yang orang asli Betawi. Beliau tidak pernah ketinggalan selalu menyiapkan sayur banci saat Idul Fitri. Saya pernah menanyakan resepnya, resep yg dari Primarasa ada yg kurang, ditambah jinten, temu mangga, temu kunci, kedaung. Beliau memang Betawi dari Kalibaru Timur – Jakarta Pusat jadi keluarga besarnya banyak yg bisa membuat sayur banci ini.